Terkini

banyak semoga untuk kita

Gambar
hai teman frasa. rasanya sudah lama tidak saling sapa ya.  kita pernah menghabiskan waktu untuk menebak-nebak hidup. kita pernah duduk di tempat luas yang lapang untuk menerka-nerka kisah apa ya yang akan terjadi selanjutnya. kita pernah mengira-ngira jalan mana lagi yang akan jadi persimpangan dan pos berhenti. banyak harap yang tumbuh mekar berhamburan pada dunia kamu dan mungkin kita yang akhir-akhir kemarin sering banyak keresahan. dunia yang nyala padam di tengah lalu lalang banyak orang.  katamu, kita bukan pusat semesta, maka tidak ada yang berkewajiban senantiasa mengerti pelik isi kepala dan ruam jiwa yang membiru. kita berulang kali menyampaikan semoga di antara kata mudah-mudahan. semacam semoga kita sampai meski jalannya sangat jauh. semoga kita terus tabah meski seluruh kita sama-sama baru menjadi manusia dewasa pertama kalinya. di antara kosakata kacau dan jalan buntu, kita terus berusaha mencari pintu terbuka untuk berdiri, sekali lagi.  kita pernah berpikir

sang waktu


Lantas apalagi yang lebih malas dari berhubungan dengan waktu? Pergi ke suatu tempat dari pagi hari lalu pulang larut malam? Menunggu berubahnya detik menuju menit mulai dari satu putaran kembali? Melepas sesuatu saat waktunya pergi telah tiba? Apalagi selain hal-hal membosankan tadi?

Bukankah manusia selalu mencintai waktu kemudian berangsur-angsur menyia-nyiakannya?

Sungguh klimaks yang tidak pernah membuat hati sejahtera. Kalimat-kalimat memojokkan yang dibubuhi tanda tanya ini membunuh semua prasangka baik menjadi sedikit tidak baik. Toh tidak ada yang berubah kan? Tidak ada hal yang butuh di revisi minimal sekali lagi. Sebuah penyangkalan yang penuh penyesalan.

Kalau kita bisa pergi sekarang juga ke masa depan, pada pukul berapa kita akan merasa bahagia? Saat malam hari? Saat pagi sebelum matahari terbit dari arah timur? Saat kesepian di tengah-tengah hutan lebat yang habis dihinggapi hujan? Siapa yang bisa menanyakan ini dengan polos tapi penuh rasa sopan? Manusia berlomba-lomba menanyakan apa kabar, ada cerita apa, bagaimana jalannya. Siapa yang berkenan menanyakan apakah kita bahagia?

Kalau detik ini kita bisa berhenti untuk sekedar rehat lima menit saja, tempat mana yang paling pas untuk dikunjungi bersama diri sendiri? Padang rumput luas dengan dedaunan krisan yang kering, lautan biru yang dalam di tengah-tengah samudera bernama kedamaian, atau sebuah kamar kecil dengan kertas-kertas yang berisi petuah kesepian?

Sejatinya tidak ada yang benar-benar sejati. Se-
siap apapun sang manusia ternyata ia juga tidak pernah benar-benar siap. Perihal apalagi yang menuntun kita pada menunggu, berhenti, memulai dan berdebat dengan waktu? Waktu fana, dan kita abadi. Selalu abadi.

Kita meluaskan banyak harap pada kepasrahan yang begitu lapang. Memungut sisa-sisa emosi pada sekantung perasaan yang amat tandus. Bisakah kita menyirami hati dengan air dari rumah sendiri? Bisakah kita berhenti memberi makan pada sejumput egosentris? Bisakah paradigma menjadikan kita manusia yang utuh sebagai manusia? Melelahkan sekali mengisi waktu dengan pertanyaan yang tidak ada tanda berhenti. Tanda tanya yang kehilangan tanda titiknya. Mungkin tanda seru juga.


Komentar

Advertisement

Postingan populer dari blog ini

Senandika dan Dara

Bukan Sekarang, Mungkin Nanti

K E H I L A N G A N

Part of @baitfrasa_id

Find Us on Instagram !!!