Sayang sekali ya Tuan. Pengabdi platform sosial media seperti kami belum juga selesai merampungkan Madilog atau Gerpolek. Mau baca buku ada saja alasannya seribu. Berbalas komentar di Instagram, ngoceh sendiri di Twitter atau sekadar scroll timeline di malam hari.
Bagaimana Tuan? Rasanya dilahirkan menjadi seorang revolusioner tapi dikepung banyak persepsi dari bangsa sendiri. Lagi-lagi, sayang sekali aku belum lahir saat kau mati-matian menjadi barisan nasionalis yang tegas tapi kritis. Kalapun saja aku tidak bisa membantu memberi pandangan pemerintahan,aku mau saja mendengarkan mu membahas tentang ide-ide cerdik menulis di sela-sela keterasingan. Menulis banyak bab dan halaman dari jeruji penjara. Apa kabar kami yang menjadi kaum rebahan sejati atau yang pamer eksistensi tapi nol besar mengenal diri sendiri.
Belasan tahun silam, aku pernah mengerjakan sepuluh soal matematika di papan tulis. Tuan tahu tidak? Malam sebelumnya aku menghafal banyak rumus. Menghafal banyak angka. Menjadi anak kecil yang sangat teoritis. Seperti katamu kan? Bahwa menghafal tidak menambah kecedasan,menjadikan bodoh dan mekanis seperti mesin. Kami menjalaninya sampai sekarang Tuan. Apa kau mau bersimpatik akan hal ini?
Menurut Tuan anak muda sah-sah saja kan mencintai seseorang? Sepelik apapun drama anak milenial tahun 90 -an, rasanya aku ingin menulis balada tentang perjalanan cintamu yang senantiasa abadi. Betapa beruntung para perempuan itu dicintai laki-laki yang sudah lebih dulu mencintai bangsanya sendiri. Ditolak cinta atau patah hati kesekian kalinya, prioritas perasaanmu tetap pada negara supaya tetap baik-baik saja. Seandainya aku adalah seorang peramal yang sopan, kukira perasaanmu seperti dikoyak oleh jarum dan jerami. Lukanya tidak pernah menemui tepi. Separuh hatimu yang ganjil belum sempat menemui genap sampai di akhir hayat.
Tuan menjadi orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia dan mati di ujung senapan tentara milik bangsa sendiri. Tuan, apa kau merasa sangat lapang kala itu?
Toko buku masih ada, selama itu tetap ada pustaka. Kalau perlu, makanan dan pakaian dikurangi. Layaknya edelweis, Tuan senantiasa abadi.
Komentar
Posting Komentar