Makin tua kita makin sadar. Kalau yang dibutuhkan manusia itu tidak hanya merasa bahagia tetapi merasa bahwa dirinya selalu ada. Obrolan-obrolan ringan ternyata adalah hal istimewa buat bekal selanjutnya.
Sadar bahwa rupanya tukar pikiran dan bercerita tidak hanya melepas emosi. Tetapi juga ibarat mengarungi laut dengan dua dayung. Dayung di sisi kanan dan sisi kiri. Dua dayung dengan segenap pandangan dan pemikiran yang berbeda tetapi jadi pelengkap supaya kapal bisa terus berlayar sampai pelabuhan.
Apa yang lari-lari di kepala sendiri rasanya akan lebih seru kalau dibagi dengan isi kepala lainnya. Menyelami jiwa dan perasaan sendiri. Lalu bertukar amanat untuk diambil sebagai tamu baik bagi diri sendiri dari manusia lain. Bisa jadi hal menyakitkan bagi kita adalah ladang mendapat pelajaran baik bagi dia yang sedang mendengarkan cerita. Bisa jadi kesalahan dia adalah notifikasi sederhana yang bisa kita pelajari supaya tidak mengulang kesalahan dua kali.
Pernah tanya sama kakek atau nenek? Apa yang mereka rasakan saat usia sudah mulai menua? Sudah tidak bisa jalan kemana-mana. Tidak bisa pergi ke toko buku, santai di warung kopi, atau sekadar menyiram bunga di taman depan rumah.
Mereka cuma menjalani hidup berdua. Mungkin tempat terenak ya di kamar tidur. Melepas lelah, mengistirahatkan pikiran. Selain itu, ternyata tidak ada lagi yang lebih istimewa selain bercerita. Menertawakan masa lalu, mengenang masa muda, mendoakan anak-anaknya yang jauh dari rumah, atau sekadar melempar gombalan layaknya anak muda supaya tetap merasa bahwa mereka tidak kesepian. Ketika sudah tidak sanggup apa-apa, cuma ngobrol yang membuat mereka tetap merasa ada.
Usia mungkin bisa dimakan waktu. Tapi soal bercerita dan saling mendengarkan, rasanya adalah hal yang tetap bisa punya umur panjang. Masa tua yang tidak sorak sorai seperti masa muda ya obatnya dengan ngobrol, bercerita. Tetap ramai meskipun cuma berdua. Ibarat merasakan sepi tetapi bersama-sama.
Ada yang tetap setia dari bercerita. Isi kepala dan manusianya. Kalau sudah tua mau apa lagi? Cuma ada ramai yang sepi. Akhirnya, ngobrol dan ngopi jadi pelarian yang paling mengerti. Kita abadi di isi kepala sendiri.
Komentar
Posting Komentar