Sering kita ucapkan. Berkali -kali. Dengan kata yang sama. Pola yang sama. Dan akhir yang sama. Kita pernah berpikir tidak subjek yang kita mintai maaf? Apa kata "iya ", "gapapa", "hehe oke" dan persetujuan memaafkan lainnya benar-benar bisa membuatnya memaafkan kesalahan kita?
Rasanya tidak ada yang lebih lagi dari manusia. Kalau tidak rumpang ya rumit. Kalau tidak semua yang kesannya sulit. Termasuk kategori perasaan satu ini. Maaf sejatinya ialah penolakan. Batas paling sederhana untuk kita agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Garis paling tipis untuk kita memperbaiki yang sudah terjadi dengan memperkecil kesempatan melakukan kesalahan lagi. Kalau maaf hanya untuk kalimat pemanis saat kita berbuat salah supaya orang lain mau memaafkan kembali.
Berapa tebal perasaan orang lain bersedia benar-benar memaafkan? Kata iya, gapapa, oke, baiklah cuma omong kosong. Seperti budaya yang terus menerus lestari sebagai balasan dari kata maaf itu sendiri. Tapi sejatinya menerima kesalahan kemudian mencoba memahami lalu memaafkan, berusaha melupakan dan menjalani kembali ialah metamorfosa yang lama. Perasaan sebenarnya tak seteguh dan sekokoh itu. Bagaimana kita tahu rasanya di dalam lubuk hatinya? Pilihan memang sakit. Memilih memaafkan tapi nanti masih banyak kesempatan bagi seseorang tersebut melakukan kesalahan kembali. Atau membiarkan semuanya, tidak berurusan kembali dan bodoamat jikalau kesalahan terjadi lagi.
Maaf ada untuk di koreksi kurangnya. Bukan untuk diulang pengucapannya setiap salah yang malah dijadikan pola. Maaf ada buat pengingat, notifikasi paling samar agar tidak lagi menjalani kesalahan berulang. Maaf lagi. Mengulangi lagi. Terus begitu beberapa kali. Kata maaf sendiri jadi tidak lagi punya arti. Selapang apa manusia bisa menerima maaf? Mengalah agar mempercepat penyelesaian masalah. Tapi pada chapter berikutnya, maaf jadi senjata andalan buat mempertipis kesalahan. Perasaan sejatinya tidak benar -benar kuat. Ada ruang dimana sebetulnya ia sudah bingung mau ditempatkan dimana lagi untuk memaklumi hal yang salah tadi.
Maaf buat tidak diulang lagi yang memang bukan porsi. Maaf untuk kita mengeja pola mana yang seharusnya dihindari. Maaf untuk kita mencari penjabaran untuk perbaikan tapi tidak untuk menghakimi kesalahan. Maaf ada karena kita ini manusia. Tapi kita bisa membuat kata maaf makin istimewa dengan tidak mengulang kesalahan yang sama, misalnya.
Komentar
Posting Komentar